Cinta namun Bodoh


Ketika saya sudah berprasangka baik bahwa kamu adalah orang baik yang saya percaya dan selama ini hanya saya lah yang setiap hari mampu mengisi sebagian hidupmu.

Namun, suatu hari saya mengetahui bahwa ada orang lain yang menurutmu lebih berarti. Bukan temanmu, bukan sahabatmu. Beda, ini beda hal.

Ada seseorang yang ternyata kamu kenal dan kamu dekati sebelum saya. Bukan seseorang lagi, banyak. Banyak sekali. Ternyata saya salah besar. Dan setelah itu, apa yang saya lakukan? Menghindar? Tidak. Saya tetap bertahan pada jurang kebodohan yang telah saya buat sendiri.

Kalau dianalogikan, saya itu sedang menerapkan sebuah hadist dimana berdosalah orang yang memutuskan tali silaturahim.

Suatu alasan yang bagus untuk tetap bersilaturahim dibalik perasaan yang membutuhkan suatu kepastian.

Bodoh. bodoh. bodoh.

Setelah itu, saya memutuskan untuk tetap dekat tetapi tak menaruh harap lebih. Seketika perasaan itu hilang. Hampir berhasil.

Namun, perasaan ini tak kunjung stabil. Seperti roaller coaster. Naik-turun. Seperti itu dan seterusnya akan seperti itu sampai tak tahu ujungnya.

Kamu itu bagaikan Alat Nebulizer, selalu dibutuhkan ketika saya merasa sesak nafas
Kamu itu bagaikan cokelat, selalu boosting mood saya.

Kamu itu bagaikan drugs, menenangkan tetapi lama-lama menghancurkan.

Kamu adalah sesuatu yang paling saya butuhkan. Walaupun kamu berbuat buruk sekali pun saya masih di sini, masih pada perasaan yang sama. Kamu adalah zat buruk yang membuat saya pulih. Namun kamu juga zat yang paling menghancurkan.

Intinya, saya cinta pada suatu kebodohan.

Iya,

Cinta namun Bodoh.

Komentar